Jumat, 24 Februari 2012

Ketika kereta api adalah saksi bisu dari perjalanan hidupnya.....

Gerbong kereta itu menyimpan banyak cerita......
Dencitan rem yang sangat khas dan deru lokomotif yang selalu terdengar setiap menaiki gerobak besi yang ditarik oleh mesin tersebut. Tak lupa disertai oleh suara klakson atau bel yang sangat nyaring ketika hendak berhenti di setiap stasiun. Lalu lalang pedagang asongan yang kontan meramaikan gerbong kereta api. Gerobak besi yang dijalankan oleh masinis itu melaju dengan cepat. Bahkan mobil presiden pun harus berhenti ketika ada kereta api yang mau lewat. yak, kereta api adalah kendaraan umum yang saya sukai.

Teringat kata senior saya di Mapagama. Saat itu saya dan tim saya sedang presentasi hendak berkegiatan di Pulau Lombok. Bahasan waktu itu adalah mengenai transportasi. Berhubung tim kami berjulah lima orang perempuan dengan lama kegiatan sekitar satu bulan. Banyak dari teman-teman Mapagama yang menanyakan transportasi apa yang kami pilih agar tidak ribet dan nyaman dengan barang bawaan yang setiap orang membawa satu carier penuh dengan berat rata-rata 20 kg dan daypack sekitar 6-9 kg. Mereka menyarankan kami, untuk menggunakan kendaraan yang nggak putus-putus dan nyaman seperti pesawat atau bus yang langsung sampai Mataram. Satu diantara yang datang pernah mengatakan kepada kami yang kurang lebih kata-katanya begini :"Saya tau uang kalian cukup untuk membayar tiket pesawat. Dan perjalanan pun akan lebih cepat. Kalian bisa save tenaga kalian, karena waktu istirahat di sana lebih lama sebelum acara kalian di sana dimulai. Tidak perlu repot menenteng-nenteng barang bawaan yang berat setiap orangnya. Tapi tidakkah kalian berpikir. Jika kalian naik kereta api, maka banyak sekali cerita yang dapat dibagikan untuk anak cucu kalian...", begitu dia berkata kepada kami.

Dan memang benar kata senior saya itu. Disamping banyak cerita di setiap gerbongnya, biaya pun menjadi lebih murah. Untuk masalah keamanan, kami dapat bergantian menjaganya.

Ini adalah bagian yang saya sukai dari naik kereta api, terlebih kereta ekonomi.  Kotak besi panjang yang berjalan itu membawa kita ke dalam imajinasi masing-masing. Pemandangan yang monoton pada waktu naik bus tidak akan didapatkan ketika kita naik kereta api. Melewati pedesaan yang tenang, persawahan, perumahan, merasakan matahari terbit dan kesegaran alami pada pagi hari. Dari stasiun satu ke stasiun berikutnya selalu memiliki cerita yang berbeda-beda.

Memang sih, begitu kita keluar dari kereta, badan kita bau korosi besi. Tetapi tetaplah tidak sebanding dengan cerita yang dialami waktu itu.

Suatu ketika saya pergi ke Malang bersama dua teman saya menggunakan KA ekonomi Matraremaja jurusan Jakarta-Malang. Ini kedua kali saya naik KA Matraremaja yang selalu penuh akan penumpang dan pedagang. Kita harus cepat-cepatan mencari tempat duduk Sayang sekali waktu itu, kursi kosong itu sedang tidak berpihak kepada kami. Alhasil saya dan dua teman saya memutuskan untuk duduk di sambungan gerbong kereta. Dan merupakan pilihan yang tepat karena tidak perlu bolak-balik memberikan jalan kepada para pedagang yang lewat, dan harus berdiri selama kurang lebih 8 jam itu. Disambungan gerbong pun duduk kami harus berimpit-impitan karena harus berbagi dengan penumpang lainnya yang nasibnya sama dengan kami.

Perjalanan yang cukup jauh memungkinkan kami untuk mengobrol dengan penumpang lainnya. Kami berkenalan dengan Bapak Yadi (nama tepatnya saya lupa). Pak Yadi adalah pelanggan tetap Matraremaja. Setiap minggu pak Yadi selalu pulang ke Malang menengok anak dan isterinya. Beliau kerja di Semarang. Pak Yadi adalah satpam di salah satu pabrik (saya lupa nama pabriknya) yang ada di Semarang. Ketika masih muda pak Yadi pernah melamar menjadi angkatan darat atau sering orang menyebutkan tentara. Namun tidak diterima dengan alasan yang tidak disebutkan olehnya. Ketika memiliki keluarga, pak Yadi harus mencari pekerjaan yang tetap. Awalnya pak Yadi pernah bekerja di Jakarta dan menetap kurang lebih dua setengah tahun. Kerasnya Jakarta membuat pak Yadi beralih tempat hingga beliau berkenalan dengan seorang temannya di dalam kereta. Setelah mengobrol singkat dengan pak Yadi, orang tersebut menawarinya untuk menjadi satpam di sebuah pabrik makanan kecil yang ada di Semarang. Pak Yadi bekerja seminggu 4 hari jadi setiap hari jumat-minggu pak Yadi selalu menyempatkan diri untuk pulang ke kota asalnya di Malang. Pernah waktu itu saya bertanya kepadanya, kenapa tidak mendirikan rumah atau ngontrak saja di Semarang daripada bolak-balik Semarang-Malang. Katanya perjalanan naik kereta api ini adalah suatu hal yang mengubah hidupnya menjadi lebih baik, jika dia punya rumah di Semarang, maka kesempatan naik kereta api akan sangat jarang sekali. Disamping itu, katanya lagi, anak-anaknya sudah besar. Yang paling kecil sudah SD kelas V dan yang paling besar SMA kelas 2. Jadi kasihan kalo harus pindah sekolah. 

Cerita hidup dari balik gerobak besi ini begitu melekat di hati pak Yadi. Bagi Pak Yadi kereta api adalah bagian dari hidupnya yang harus selalu diingat. Beliau memiliki satu isteri dan 3 orang anak. Tidak hanya pekerjaannya sebagai satpam yang dia dapatkan di kereta api. Namun isteri yang selama ini sudah melahirkan tiga orang anaknya ini juga didapatkan di kereta api. Waktu itu pak Yadi hendak pergi ke Jakarta dari Malang, bertemu dengan seorang wanita yang pada saat itu hendak ke Jakarta pula untuk mengadu nasib. Istrinya adalah orang Madiun. Tidak sengaja waktu itu pak Yadi duduk berhadap-hadapan dengan buk Lastri(bukan nama yang sebenarnya-karena pak Yadi tidak menceritakan siapa nama isterinya itu)*biar lebih mudah ada ceritanya:p,, yang kini menjadi istrinya. Ternyata bu Lastri baru saja tamat dari SMK dan hendak merantau ke Jakarta bersama kakaknya yang memang sudah menetap di Jakarta. Bu Lastri melamar pekerjaan sebagai pegawai pabrik di daerah Tangerang, dan mendapatkan kontrak kerja selama dua taun. Perjalanan dari Madiun - Jakarta pun bukan waktu yang singkat. Pertemuan pertama tersebut sudah membuahkan obrolan yang sangat luas dan beragam. Di Jakarta pak Yadi dan bu Lastri sempat berkomunikasi lewat sms, dan pernah janjian untuk pulang ke kampung halaman bareng. Berawal dari situlah romansa keduanya terjalin. Hingga sekitar satu tahun setengah pak Yadi memberanikan diri untuk mengajak bu Lastri menemui keluarganya di Malang yang sekaligus melamarnya. Pada waktu itu bu lastri masih bekerja di sebuah pabrik, dan pak Yadi menjadi kuli angkut di Jakarta. Setelah memiliki anak setahun kemudian, bu Lastri pun keluar dari pekerjaannya dan tinggal di Malang. Kini setelah pak Yadi menjadi satpam, beliau dapat memperbaiki rumahnya di Malang dan dapat membuka sebuah warung kelontong.

Tidak hanyan cerita dari penumpang lain, namun ada juga peristiwa-peristiwa unik da baru yang saya sapatkan ketika naik kereta ekonomi. Ada juga teman saya yang ketika dia katakanlah sedang galau selalu pergi ke stasiun kereta api. Bahkan pernah dya sampai membeli tiket kereta api hanya sekedar ingin menikmati perjalanan kereta api. Baginya di dalam kereta api memberikan hiburan tersendiri untuk mengobati ke-galau-annya itu. 

Yang selalu teringat adalah ketika kami akan berkegiatan ke luar Jogja misalnya naik gunung ke Gede Pangrango atau manjat di Malang. Di dalam kereta kami harus gantian tidur hanya untuk mengawasi barang-barang kami yang super besar, yang biasanya di taroh di pojokan gerbang dekat kamarmandi. Hal ini dikarenakan tempat buat barang di atas tempat duduk sudah tidak muat lagi.

Sayangnya keunikan-keunikan itu jarang kita dapatkan sekarang ini, karena adanya kebijakan baru. Sekarang baik itu kereta api ekonomi tidak dapat membeli tiket langsung. Tidak ada  yang berdiri karena hanya memiliki tiketk tanpa tempat duduk. Tidak ada lagi duduk berhimpit-himpitan di sambungan gerbong. Tidak ada lagi yang tidur di bawah kursi dengan alas koran karena alasan tidak mendapatkan tempat duduk Dan ketika hendak naik kereta api ekonomi kita harus memesan tiket paling tidak seminggu atau tiga hari sebelumnya. Disamping itu kenaikan harga tiket kereta api ekonomi yang hampir setara dengan kereta bisnis. 

Tempat yang menjadi favorit saya dan teman-teman adalah berada di ujung gerbong atau gerbong paling belakang ketika matari terbit (arah kereta ke barat) atau ketika matahari terbenam (arah matahari ke timur). Suatu pemandangan yang menakjubkan yang selalu diabadikan melalui foto. Kemudian kesenangan mendengarkan teriakan pedagang dari ujung gerbong terdengar lantang. Dan itu mereka lakukan terus menerus selama berada  di dalam kereta api untuk menjajakan dagangannya supaya laku. Pengamen-pengamen yang selalu memiliki laku-laku yang khas, kadang mereka ciptakan sendiri. Sesuatu yang berbeda menurut saya yang tidak didapat di kendaraan mana pun kecuali kereta api.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar