Rabu, 07 Maret 2012

Sembalun punya cerita


Ketakjuban yang kian terkira akan semua kenikmatan yang telah Tuhan persembahan kepada kita bahwa Lombok sebuah pulau yang berada di kawasan Nusa Tenggara Barat, Indonesia yang memiliki beragam pesona yang membuat semua orang terpana. Dari pantainya, masyarakatnya, adatnya, hingga pegunungannya. Memukau di setiap wilayah.
Sembalun merupakan salah satu desa di Lombok Timur yang memiliki keunikan tersendiri. Seperti sebuah koin mata uang yang memiliki 2 kharakter yang menonjol. Kalau siang angin kering yang selalu mengalun seraya menggelitik kulit menyebabkan berwarna memerah hingga menjadi hitam. Suhu dinginnya yang berada pada ketinggian 1000 mdpal ini tidak terasa ketika siang tiba. Namun pada sore hari menjelang malam hingga menjelang pagi, hawa dingin ini merasuki setiap poripori kulit membuat bulu kuduk berdiri dan enggan untuk keluar rumah. Dari segi masyarakatnya pun sama, siang dilakukan adanya semua aktivitas warga mulai sekolah, kerja, atau pun bermain. Sedangkan ketika matahari telah tenggelam jalanan mulai sepi dan semakin malam yang terdengar hanyalah hembusan angin dingin tanpa ada manusia di luar bak kota mati.
Keunikan Sembalun terjadi pada orang – orangnya yang kuat membuat mereka tetap awet muda karena seringnya berolah raga dengan membawa barang yang berat dengan jalan kaki. Seperti layaknya desa, jarak sekitar 3 km pun masih mereka kenal. Dengan sarana sekolah yang memadai apabila dibandingkan dengan fasilitas sekolah di Senaru, maka tak heran bila anak – anaknya cerdas. Sebagai salah satu jalur resmi pendakian gunung Rinjani, tak heran apabila banyak turis mancanegara yang singgah untuk sekedar naik gunung atau menetap sementara untuk mempelajari kebudayaan yang unik ini. Lembaga – lembaga social masyarakat  bermunculan dan masih eksis hingga sekarang. Salah satunya adalah CCDC (Community Cildren Development Center atau lembaga pengembangan anak - anak). Program utamanya adalah membentuk masyarakat yang mampu meningkatkan pengembangan pariwisata, mendukung perkembangan anak di desa tersebut, salah satunya adalah dengan mengajari anak – anak hingga dewasa untuk berbahasa Inggris dengan baik dan benar, mengingat Sembalun adalah desa wisata dan agar regenerasi selanjutnya.
Program dari CCDC ini gratis untuk semua warganya, dan guru yang mengajar adalah dari warga mereka yang memiliki kemampuan berbahasa asing lebih. Mereka memanfaatkan bule – bule (turis mancanegara) untuk singgah dan memberikan mereka penawaran, yaitu dengan cara memberikan mereka penginapan di salah satu rumah warga dan mereka diminta mengajari anak – anak belajar bahasa inggris. Dengan bantuan dari berbagai pihak dalam hal ini lembaga social masyarakat lain yang berada di Sembalun tersebut maka semakin cepat berkembang dan penerimaan masyarakat akan hal ini adalah sangat antusias.
Dukungan terbesar adalah pada anak Sembala (mapala Sembalun) yang mungkin bisa disebut dengan ikatan pemuda – pemudi di daerah tersebut yang memiliki misi dan visi di bidang lingkungan. Tidak hanya naik gunung, namun konservasi mengenai lingkungan selalu mereka lakukan, misalnya adalah penanaman pohon pada salah satu pegunungan gundul yang ada di Sembalun. Anggota dari Sembapala ini bermacam – macam statusnya, seperti guru, mahasiswa, atau pun perangkat desa. Keterbuakaan mereka dalam menerima kami menjadikan kami lebih akrab lagi dan mulai mengenal Sembalun. Apalagi setelah berkunjung di desa Belik yang merupakan desa adat tertua dan satu – satunya yang tersisa di Sembalun.
Desa Belik merupakan desa adat tertua di Sembalun yang belum mengalami perubahan yang drastis hingga saat ini. Kesederhanaan adalah kehidupan yang setiap hari masyarakat lakukan dengan mata pencahariannya adalah petani. Hasil pertanian berupa pertanian organik, yaitu dalam proses penanaman tidak sekalipun menggunakan pupuk atau pun zat kimia. Hasil pertanian berupa beras merah dan sayur-sayuran seperti wortel, cabai, jagung, dan lain-lain. Selain bertani, pendapatan adalah di bidang peternakan yaitu ternak sapi. Sistem barter masih dilakukan di wilayah desa yang memiliki tujuh buah rumah yang menghadap ke selatan sejajar semua dengan satu rumah induk, satu lumbung padi, satu kandang sapi, dan beberapa rumah anak-anak yang sudah menikah. Pada masing-masing rumah terdapat bangunan menyerupai gasebo atau pendopo (kalau di Jogja) yang disebut dengan beruga. Beruga ini memiliki fungsi sebagai tempat yang multifungsi, yaitu mirip dengan rumah adat di Senaru. Beruga selain sebagai tempat penerima tamu, sebagai tempat bersendau gurau dengan sanak saudara, dan juga sebagai tempat upcara. Rumah induk sendiri memiliki keunikan yaitu menyerupai sebuah kotak yang di dalamnya dapat digunakan sebagai dapur, tempat makan, bahkan menjadi tempat tidur. Penerangan yang mereka gunakan adalah lampu dari minyak jarak yang mereka buat sendiri dan tidak mengijinkan adanya listrik di desa ini. Hal ini karena kepercayaan mereka dan sebagai wujud pelestarian akan peninggalan sesepuh (orang tua). Kembali dalam tata ruang tadi, bahwa ruangan kotak tersebut nantinya akan dibagi dua. Sepertiga bagian untuk kamar anak gadisnya yang beranjak dewasa dan tiga perempat untuk anggota keluarga lainnya. Seorang anak perempuan diberikan kamar khusus sendiri yang tandanya siap untuk menikah. Masih dalam hal yang sama, yaitu susunan rumah di desa belik ini menggunakan kayu terbaik di daerah tersebut yang dapat tahan lebih dari sepuluh tahun sebagai tiang penyangga rumah. Kayu penyangga ini haruslah kayu utuh dari satu pohon dan tidak ada sambungan, dengan penguncinya tidak menggunakan paku sama sekali. Untuk itu setiap keluarga yang hendak membangun rumah haruslah menanam pohon terlebih dahulu sekitar minimal 5 tahun. Keunikan lainnya adalah dinding atau tembok dari rumah adat ini, yaitu menggunakan dinding dari anyaman bambu dengan lantai yang berkomposisi kotoran sapi. Tanpa menggunakan perekat semen sama sekali. Atapnya dari rumbai daun ilalang yang dapat bertahan hingga 6 tahun.
Cerita unik di desa Sembalun ini tidak hanya di bidang tata ruang desa adatnya, tetapi juga kebiasaan mereka pada masa muda (lebih tepatnya dahulu kala berasal dari cerita salah seorang warga). Kamar anak perempuan memiliki lubang kecil di dindingnya yang berfungsi untuk menerima atau menolak tamu. Pada waktu remaja, layaknya remaja pada umumnya yang sedang digandrungi oleh virus merah jambu. Apabila hendak apel, seorang laki-laki pada waktu mendatangi perempuan yang akan dinikahi harus memasukkan lidi ke dalam lubang di kamar anak perempuan tadi. Apabila lidi di tarik dari dalam, maka tandanya dia di terima dan boleh masuk rumah. Namun apabila dikembalikan maka tandanya pria tersebut telah ditolaknya. Cara berpacara pun beda dan tidak boleh pegangan tangan sehingga untuk mengungkapkan rasa sayangnya pada perempuan yang dia sayangi dengan cara menulis surat. Untuk mengobrol menggunakan obrolan yang cukup unik yaitu saling balas pantun. Apabila pantun berhenti di pihak perempuan maka dia harus menerima laki-laki tersebut sebagai pacarnya. Namun apabila yang kalah adalah pihak laki-laki maka dia tidak bisa menjadi pacar si perempuan tadi. Akan tetapi, kebudayaan tersebut hanya dapat diceritakan oleh nenek-nenek mereka karena perkembangan jaman pada masa sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar