Sebuah keluarga terdiri dari Ayah, Ibu dan Anak...Asal mula dari sepasang suami istri, kemudian memiliki anak, terus berkembang seiring berjalannya waktu hingga menjadi banyak. Itulah yang terjadi pada keluarga besarku (keluarga dari ibu). Kakek nenekku memiliki 10 orang anak*bisa tandingan futsal buat latihan fisik. Seiring berjalannya waktu, salah satu anak, yaitu omku pergi lebih dulu. Tinggallah kakek, nenek, dan 9 orang anaknya. Setiap tahun bertambah jumlah keluarga kami. Hingga lebaran (Idul Fitri 1433H) kini menjadi 18 anak (bertambah 9 menantu), 20 cucu, dan 9 cicit. Berkumpul di dalam satu rumah. Dari yang berdua tapi kini berkumpul 49 orang dalam satu ruangan. Ruang tamu serasa kecil sekali, bahkan beberapa dari kami pun duduk di teras rumah. Anak-anak bermain di halaman, masih tirasa sesak menampung kami.
"Sesak" bukanlah kata yang negatif atau tidak diinginkan, namun sesak disini adalah suatu kebahagiaan bagi kami sekeluarga. Kesempatan untuk berkumpul lengkap seperti ini tentunya tidak bisa datang sesuai dengan yang kami inginkan. Hanya acara-acara tertentu seperti inilah kami dapat berkumpul.
Cerita ini saya tuliskan untuk mengenang bahwa saya masih memiliki keluarga, yang ramah, sayang, dan hangat seperti ini. Gurauan demi gurauan terlontar. Tangisan kebahagiaan terpancar dari wajah kakek saya, ketika kami berpelukan meminta maaf kepada beliau. Saya masih mengingat momen ini dengan jelas. Rasa letih karena habis begadang tak kami rasakan ketika berkumpul.
Pertemuan ini bukan tidak disengaja. Kami terpisah jarak dan waktu sehingga kami bahagia mendapatkan momen khusus ini di hari lebaran. Ketika sedang berkumpul tentunya ada beberapa tradisi yang tidak pernah hilang dari keluarga kami. Pertama adalah menu makanan. Walau sudah dipastikan di setiap rumah mana pun ketika sedang hari raya idul fitri, slalu ada toples berisi kue di atas meja masing-masing. Selalu ada juga ketupat dan opor, ntah opor ayam atau yang lainnya. Tapi yang membedakan dari rumah kakek dan nenek ketika lebaran adalah selalu ada makanan tradisional bikinan nenek sendiri seperti tempe "sengek" benguk, aneka macam baceman, dan peyek. Itulah makanan yang pasti selalu kami serbu, karena sekarang susah mendapatkan makanan seperti itu.
Tradisi kedua, setelah makanan ketika kita maaf-maafan,,selalu setiap tahun bertambah jumlah anggota keluarganya. Jadi pasti selalu ada regenerasi. Setiap anak kecil yang masih sekolah (pra sekolah-mahasiswa) pasti selalu mendapatkan ampao (duit yang tentunya tiap taun berbeda jumlahnya). Tapi bukan itu yang kita bahas, tradisi yang membedakan adalah nenek selalu memberikan uang "jimat" kepada 9 anak dan 9 menantunya. Untuk nominal jelas beda jauh dengan ampao yang dikasihkan ke anak-anak. Nominalnya memang lebih kecil, tetapi harga dari pemberian nenek inilah yang tidak ternilai. Uang itu mereka simpan di dompet mereka. Tidak pernah digunakan untuk melalukan transaksi.
Cerita ini saya tuliskan untuk mengenang bahwa saya masih memiliki keluarga, yang ramah, sayang, dan hangat seperti ini. Gurauan demi gurauan terlontar. Tangisan kebahagiaan terpancar dari wajah kakek saya, ketika kami berpelukan meminta maaf kepada beliau. Saya masih mengingat momen ini dengan jelas. Rasa letih karena habis begadang tak kami rasakan ketika berkumpul.
Pertemuan ini bukan tidak disengaja. Kami terpisah jarak dan waktu sehingga kami bahagia mendapatkan momen khusus ini di hari lebaran. Ketika sedang berkumpul tentunya ada beberapa tradisi yang tidak pernah hilang dari keluarga kami. Pertama adalah menu makanan. Walau sudah dipastikan di setiap rumah mana pun ketika sedang hari raya idul fitri, slalu ada toples berisi kue di atas meja masing-masing. Selalu ada juga ketupat dan opor, ntah opor ayam atau yang lainnya. Tapi yang membedakan dari rumah kakek dan nenek ketika lebaran adalah selalu ada makanan tradisional bikinan nenek sendiri seperti tempe "sengek" benguk, aneka macam baceman, dan peyek. Itulah makanan yang pasti selalu kami serbu, karena sekarang susah mendapatkan makanan seperti itu.
Tradisi kedua, setelah makanan ketika kita maaf-maafan,,selalu setiap tahun bertambah jumlah anggota keluarganya. Jadi pasti selalu ada regenerasi. Setiap anak kecil yang masih sekolah (pra sekolah-mahasiswa) pasti selalu mendapatkan ampao (duit yang tentunya tiap taun berbeda jumlahnya). Tapi bukan itu yang kita bahas, tradisi yang membedakan adalah nenek selalu memberikan uang "jimat" kepada 9 anak dan 9 menantunya. Untuk nominal jelas beda jauh dengan ampao yang dikasihkan ke anak-anak. Nominalnya memang lebih kecil, tetapi harga dari pemberian nenek inilah yang tidak ternilai. Uang itu mereka simpan di dompet mereka. Tidak pernah digunakan untuk melalukan transaksi.
Semoga momen ini akan terus terjadi di tahun berikutnya. Entah masih dengan jumlah yang tetap, berkurang atau pun bertambah. Karena sebuah keluarga tidak ternilai harganya. Marilah kita bercermin, sudahkan kita menghargai dan benar-benar "menyanyangi" keluarga kita? Atau selama ini hanyalah dijadikan sebagai orang yang satu darah........Keluarga yang benar-benar keluarga:D
Selamat hari raya idul fitri buat semuanya:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar